Organisasi yang memiliki budaya gesit (Agile Culture) dirancang untuk
menjadi cepat, tangguh, dan mudah beradaptasi. Secara teori, organisasi
yang menggunakan praktik budaya gesit sangat cocok untuk menanggapi
guncangan seperti pandemi Covid-19. Memahami pengalaman perusahaan yang
gesit --- atau sebagian gesit --- selama krisis memberikan wawasan
tentang elemen mana dari model operasi mereka yang terbukti paling
berguna dalam praktik di lapangan.
Apa itu AGILE CULTURE
Sudah beberapa tahun terakhir ini, didunia usaha muncul istilah
“agility”. McKinsey mendefinisikan “agility” atau kelincahan sebagai
“kemampuan perusahaan untuk memperbarui dirinya sendiri, beradaptasi,
berubah dengan cepat, dan berhasil dalam lingkungan yang berubah cepat,
ambigu, bergolak”. Dengan masuknya era revolusi industry 4.0 yang
ditandai dengan internet mendominasi berbagai kehidupan manusia,
“agility” adalah salah satu hal mutlak yang harus dimiliki oleh tiap
perusahaan bila ingin survive dalam persaingan bisnis.
Perusahaan yang memiliki budaya kerja yang laincah, akan memiliki
kemampuan beradaptasi dengan berbagai perubahan eksternal, mampu
menghadapi berbagai pesaing baru, mampu mempraktekan dan menyesuaikan
degan berbagai teknologi baru yang mengubah industri, atau perubahan
mendadak dalam kondisi pasar secara keseluruhan.
Terutama dalam era pandemic covid-19 yang sudah berlangsung beberapa
bulan ini, semua pelaku dunia usaha dituntut untuk bisa gesit / lincah
untuk beradaptasi dan melakukan berbagai manufer. Dan kelihatannya,
budaya kerja “agile” ini akan semakin mutlak dipraktekan oleh
perusahaan. Artikel ini memberikan beberapa tips praktis bagaimana
membentuk budaya kerja yang lincah pada para Leader dan karyawan.