repost from source
The core of what I do is solve problems, whether that's in graphic engine flow or rockets. I like working on things that are going to have an impact one way or the other. #John Carmack
Suatu ketika di suatu perjalanan saya melihat sesuatu yang menarik, #diBikinSimple Tagline inilah yang membuat saya menarik tersebut, ini cukup menggelitik saya beberapa hari ini, bagaimana tidak, hashtag itu merupakan cerminan dari polapikir yang disruptif,improvement dan pola pikir yang selalu untuk membuat sesuatu untuk menjadi lebih baik lagi dan lebih 'simple' dalam cara kerjanya.
Selain tagline 'simple' tersebut, pola pikir untuk problem-solving atau menyelesaikan masalah pada intinya(core) adalah bagian dari sesuatu yang tidak terbantahkan dalam bagaimana kita memandang sesuatu dan bagaimana pemecahannya, mari kita simak cerita berikut ini:
Kancing si Nenek
Disebuah zaman ketika listrik masih menjadi barang mewah. Dibawah lampu jalanan, seorang nenek sedang sibuk mencari sesuatu didepan rumahnya. Seorang anak muda, kebetulan lewat dan bertanya: “Sedang cari apa nek?” Jawab sang nenek:”Mencari kancing baju yang lepas nak.” Sang anak mudapun membantu mencarikan kancing nenek itu.
Setelah mencari sekian lama tidak juga ketemu. Sang anak muda kembali bertanya:”Maaf Nek, tadi sebenarnya nenek merasa jatuhnya kancing dimana?” Sang nenek menjawab:”Rasanya sih jatuhnya didalam kamar tidur nenek”
Sang anak muda jengkel dan bertanya:”Lho kok dicari diluar rumah nek?” Jawab sang nenek, “Iya nak, soalnya didalam rumah nenek gelap, dan diluar ini terang, lebih mudah mencarinya.”
Cerita yang sumir ini terasa lucu dan sedikit menjengkelkan. Tetapi sebenarnya tanpa sadar kita sering berperilaku seperti sang nenek ini. Kita selalu mencari solusi yang mudah dalam memperbaiki bisnis kita.
Ketika penjualan menurun, kita hanya tahunya memberi diskon, diskon, diskon dan kadang-kadang meningkatkan promosi karena itu yang paling mudah dilakukan. Mungkin sebenarnya kita harus kembali melihat kualitas barang kita, sistem produksi, trend anak muda, packaging, dunia digital, kompetitor baru, strategi marketing dan hal lainnya.
Setelah kita menyimak ceritas di atas tadi, mari kita membahas sebuah buku yang bica tentang problem solving tersebut berjudul; 'Practical Problem Solving' .
Practical Problem Solving
Setiap orang selalu mempunyai masalah dalam hidup ini, baik secara profesional ataupun pribadi. Dan, kebanyakan dari kita tidak pernah diberi “ilmu” untuk menyelesaikan masalah. Tidak diajarkan di SMA ataupun perguruan tinggi, dan jarang pula diajarkan saat bekerja. Padahal, masalah terus datang dari segala penjuru.
Buku ini ditulis oleh Andy Iskandar, yang berpengalaman 15 tahun sebagai konsultan dan trainer di bidang manajemen. Buku ini ditulis secara komprehensif, dijelaskan dengan cukup jernih dan diberi banyak contoh yang sangat relevan dengan dunia kerja kita; hanya 137 halaman dalam bahasa Indonesia.
Nomor teratas dalam 10 skill yang paling dibutuhkan pada 2015-2020 adalah problem solving. Dan untuk menjadi problem solver yang baik, dibutuhkan pola pikir yang benar. Pola pikir bahwa sebenarnya masalah adalah sebuah kesempatan, sebuah ruang untuk memperbaiki diri. Masalah adalah perbedaan antara apa yang diharapkan dan apa yang terjadi. Setiap masalah haruslah diselesaikan dengan pola dan cara yang benar. Harus diketahui apa masalah yang sebenarnya, apa akar masalahnya, dan ditemukan apa solusinya.
Setiap masalah diawali dengan persepsi awal, masalah yang sebenarnya, dan penyebab langsung. Bila telah diketahui penyebab langsungnya, barulah kita cari akar masalahnya. Nah, setelah akar masalah diketahui, kita dapat selesaikan masalah itu dengan solusi yang tepat.
Perangkap terbesar dalam menyelesaikan masalah adalah ketidakpahaman kita akan keadaan yang sebenarnya, tidak adanya kemampuan analisis yang baik, dan mudahnya kita termakan persepsi kita sendiri. Sering kita tidak menyelesaikan akar masalah yang sebenarnya, sehingga masalah tersebut setelah selesai akan timbul kembali dalam bentuk lain.
Andy Iskandar memberikan lima langkah jelas dalam menyelesaikan masalah:
- (1) memahami kejelasan masalah,
- (2) analisis situasi,
- (3) analisis hipotesis,
- (4) analisis akar penyebab, serta
- (5) memilih solusi yang tepat.
Dan, dalam setiap langkah diberi tools yang jelas dan cerdas sehingga kita dapat lebih mudah mengaplikasikannya untuk menyelesaikan masalah.
Berikut ini adalah salah satu contoh kasus dalam kehidupan sehari-hari yang diberikan dalam buku ini untuk menjelaskan prinsip lima langkah practical problem solving (PPS) atas masalah rumah bocor.
Beberapa tahun lalu rumah saya bocor dan kami sudah memanggil seorang tukang untuk memperbaikimya. Penyebabnya, tembok penyangga genteng di atap ternyata retak sehingga air hujan dapat tembus dan menyebabkan kebocoran. Tukang tersebut sudah memperbaikinya dan rumah kami selama beberapa hari tidak bocor lagi.
Namun, sekitar dua minggu kemudian, ketika saya baru saja pulang kerja, istri saya muncul dari dalam rumah dan menginformasikan bahwa rumah kami kembali bocor. Lalu, saya bertanya kepada istri saya, “Oh, rumah bocor. Tapi kamu dan anak-anak nggak kenapa-napa? Kalian sehat dan baik-baik saja, kan?” Istri saya bilang, “Nggak apa-apa Pah, kami baik-baik saja, hanya rumah, bocor.” Nah, ini penting karena ini bagian penggunaan dari langkah pertama, yaitu memahami kejelasan masalah.
Setelah itu, saya bertanya, “Memangnya bocornya di mana, Mah?” Lalu, saya dibawa oleh istri saya ke dapur. Oh, ternyata yang bocor itu dapur; di awal, dia bilang yang bocor itu rumah. Jadi, persepsi awal masalah yang kelihatannya besar dan rumit, setelah disederhanakan, ternyata simpel dan tunggal, yaitu hanya dapur yang bocor.
Setelah di dapur, saya lihat dan menganalisis bekas bocor di bagian atap dapur. Ini adalah penggunaan langkah kedua, yaitu analisis situasi. Saya melihat bekas bocornya yang sudah berwarna cokelat meskipun belum ada air yang menetas ke bawah tetapi bekasnya sudah cokelat pekat. Berdasarkan data dan fakta bekas bocor tadi, saya berkata kepada istri saya, “Mah, kalau melihat bekas bocor yang seperti ini, menurut Papah ada tiga kemungkinan penyebab bocornya, yaitu: (1) gentengnya merosot/jatuh, (2) pipa di atas atap ini bocor, dan (3) temboknya retak lagi.”
Nah, ini saya sudah melakukan langkah ketiga, yaitu analisis hipotesis. Jadi di tahapan ini, saya membuat dugaan-dugaan (hipotesis) mengapa masalah itu bisa terjadi berdasarkan data dan fakta yang saya dapatkan di langkah kedua tadi. Masih di langkah ketiga ini, karena saya membuat tiga dugaan, saya harus melakukan sesuatu untuk membuktikan yang mana dari tiga dugaan tersebut yang benar dan yang salah.
Dalam contoh ini, untuk membuktikan ketiga dugaan tadi, saya naik ke atap rumah karena kebetulan ketiga dugaan tersebut semuanya harus dibuktikan dengan cara naik ke atap rumah. Hal pertama yang saya cek adalah dugaan saya yang pertama, yaitu genteng merosot/jatuh. Setelah saya cek, ternyata tidak ada genteng yang jatuh sehingga dugaan saya ini salah.
Kemudian, saya cek dugaan yang kedua, yaitu pipa bocor. Setelah saya lihat dan periksa, pipanya tidak bocor sehingga dugaan saya yang kedua ini pun salah. Saya cek dugaan saya yang ketiga, yaitu tembok retak. Ternyata benar, temboknya retak. Jadi, dari tiga dugaan saya, setelah saya periksa, ternyata dua dugaan keliru dan hanya satu yang benar, yaitu temboknya retak.
Lalu, saya turun dari atap rumah dan menginformasikan kepada istri saya: “Mah, ternyata temboknya retak lagi lho, padahal baru dua minggu lalu diperbaiki.” Sampai sejauh ini, saya baru selesai di langkah ketiga. Langkah keempat adalah analisis akar penyebab dengan menggunakan cara investigasi 5 whys (bertanya why).
Dalam contoh ini, saya lakukan bersama istri saya dalam bentuk percakapan yang di dalamnya banyak pertanyaan “kenapa”.
Saya : “Mah, kenapa ya kok temboknya bisa retak lagi padahal baru dua minggu lho?”
Istri : “Ya..., mungkin tukangnya nggak bener.”
Saya : “Kenapa tukangnya nggak bener?”
Istri : “Mungkin dia nggak paham dengan penjelasan Mamah.”
Saya : “Kenapa Mamah yang ngejelasin?”
Istri : “Kan saat itu Papah lagi nggak ada di rumah.”
Saya : “Kenapa saat itu saya nggak ada di rumah?”
Istri : “Kan saat itu hari kerja.”
Dengan melakukan investasi 5 whys ini, kami mengetahui akar penyebab masalahnya sehingga solusi yang akan kami pilih benar-benar menyelesaikan akar dan bukan gejala. Lalu, saya minta istri saya menghubungi si tukang kembali dan minta si tukang untuk datang pas saya sedang ada di rumah, yaitu Sabtu atau Minggu.
Ilustrasi di atas merupakan contoh sederhana sehari-hari yang sangat baik untuk menjelaskan secara sederhana prinsip lima langkah PPS. Saya yakin, jika Anda dapat memahami contoh tadi, Anda sedikit-banyak sudah mulai memahami pola pikir yang sistematis dan rasional ala PPS.
Seharusnyalah problem solving dijadikan pelajaran praktis di sekolah atau kampus. Karena, kebutuhan problem solving ini sangat nyata dan selalu dihadapi siapa saja; problem solving adalah sebuah keterampilan yang dapat dipelajari dengan cukup mudah. Asalkan, kita mau memakainya dalam kehidupan kita. Kita mempelajari situasi dan data secara kritis serta menyelesaikannya secara sistematis. Penggabungan antara kemampuan berpikir dan kemauan bertindak menyelesaikan masalah adalah aset untuk mencapai sukses dalam karier apa pun.
Sebuah how to yang praktis, dengan langkah-langkah penyelesaian yang jelas, dan diberikan format penyelesaiannya dalam satu lembar kertas. Problem solving skill seharusnya diajarkan kepada setiap profesional dalam menghadapi kehidupan dan pekerjaannya.
- source:
- Swa Magazine for Book Review Dec 2017
- mindtools[dot]com
- OECD Reports
- etc
No comments:
Post a Comment